Minggu, 10 November 2024
Djogja Info

Tuberkolosis di Gunungkidul Masih Menjadi Persoalan, Kesadaran Warga Diperlukan

Bupati Gunungkidul Sunaryanta. (Pemkab Gunungkidul)
Bupati Gunungkidul Sunaryanta. (Pemkab Gunungkidul)
Bupati Gunungkidul Sunaryanta. (Pemkab Gunungkidul)
Bupati Gunungkidul Sunaryanta. (Pemkab Gunungkidul)

Djogjainfo, Gunungkidul – Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta menggelar peringatan Hari Tuberkolosis (TB) Sedunia yang jatuh setiap tanggal 24 Maret.

Peringatan digelar di Pendopo Taman Budaya Kabupaten Gunungkidul, Rabu (30/3/2022).

Dalam acara tersebut hadir, Bupati Gunungkidul, Kepala Dinas Kebudayaan, Kepala Dinas Kominfo
Kemenag, Ketua PPTI, Direktur RS se-Gunungkidul,

Kepala Puskesmas se Gunungkidul, Pemegang, program Tb RS dan Puskesmas, Kader TB di 18 Kapanewon dan tamu undangan lainnya

Bupati Gunungkidul Sunaryanta dalam sambutanya mengatakan, pemahaman tentang TB belum sepenuhnya tersampaikan oleh masyarakat. Sehingga fenomena ini seperti gunung es yang memicu munculnya stigma negatif pagi penyitas.

Sehingga perlu adanya edukasi kesadaran kepada masyarakat bersama dinas terkait dalam memberikan pemahaman sehingga akan mempermudah proses deteksi.

“Seluruh lapisan masyarakat sudah saatnya peduli. Ini bukan semata tugas pemerintah namun tanggung jawab bersama,” kata bupati.

Sementara Kepala Dinas Kesehatan Gunungkidul, Dewi Irawaty menyampaikan TB masih menjadi masalah kesehatan global. Tidak hanya di Indonesia namun beberapa wilayah di dunia
“Tidak hanya di Gunungkidul. Namun ini sudah masalah nasional,” paparnya.

Dikatakan, Indonesia menempati urutan ke-3 temuan kasus TB terbanyak di dunia. Sementara di Gunungkidul sendiri, pada 2021 lalu ditemukan sebanyak 266 kasus TB, yang mana hampir semuanya sudah dinyatakan sembuh.

Dewi menilai berlarutnya masalah TB salah satunya disebabkan lamanya proses pengobatan hingga stigma negatif yang melekat pada penderitanya. Pengobatan TB pun juga harus dijalankan secara rutin.

“Pengobatan dilakukan minimal selama 6 bulan tapi kalau bakterinya sudah resisten, pengobatan bisa sampai setahun setengah,” ungkapnya.

Hingga saat ini pengobatan pasien TB difasilitasi secara gratis oleh pemerintah. Namun Dewi tak menampik biayanya tinggi lantaran harga obat-obatannya terbilang mahal, terutama untuk penanganan resisten.

Dewi pun berharap stigma negatif tentang TB berkurang. Sebab karena stigma tersebut masyarakat umumnya enggan bahkan malu untuk memeriksakan diri ketika ada gejala TB, seperti batuk lebih dari 2 minggu.

“Perlu dukungan dari masyarakat agar penanganan TB bisa berjalan lebih optimal,” paparnya. (rls)

Leave a Reply